Nagari Sumpur bagaikan lukisan di atas kartu pos. Kabut pagi
menyelimuti perkampungan, sawah, danau dan pepohonan membuat segalanya terlihat
berwarna lembut. Bagaimana bisa Nagari secantik itu bisa ditinggal pergi
sebagian penghuninya?
Suasana Nagari Sumpur setenang permukaan air Danau Singkarak. Angin sejuk segar
mendesau pelan mempermainkan dahan-dahan pohon sawo manila yang tumbuh subur di
Sumpur. Nagari yang masuk dalam wilayah Kecamatan Batipuh Selatan, Kabupaten
Tanah Datar, Sumatera Barat itu memang penghasil sawo. Buah sawo dari Sumpur
berasa manis dan segar.
Hari masih pagi. Belum banyak aktivitas yang dilakukan warga. Hanya ada
beberapa petani sedang menandur di sawah dan segerombolan burung bangau putih
yang sedang mencari makan. Kami membelah jalan sempit dan berkelok menuju
jantung nagari yang terletak tepat di bibir Danau Singkarak.
Semakin masuk ke nagari itu, semakin jelas pesona Danau Singkarak. Permukaan
air danau diliputi kabut tipis, seolah menyimpan rahasia proses pembentukannya
yang dahsyat jutaan tahun silam. Dan rahasia itu baru sebagian saja yang bisa
diungkap para ahli.
Hasil penelitian geolog senior dari Institut Teknologi Bandung, MT Zen tahun
1970 menunjukkan, Singkarak terbentuk akibat proses tektonik dari sesar-sesar
yang ada di sekitarnya. Danau ini merupakan bagian dari cekungan memanjang
Singkarak-Solok yang merupakan salah satu segmen Sesar Besar Sumatera. Cekungan
besar yang memanjang itu kemudian terbendung material letusan gunung api muda
Marapi, Singgalang, dan Tandikat di sisi barat laut. Di sisi tenggara
terbendung oleh endapan material letusan Gunung Talang.
Maka jadilah Danau Singkarak. Sebuah danau yang membentang di Kabupaten Tanah
Datar dan Kabupaten Solok. Masih ada sejumlah penelitian lain yang mencoba
mengungkapkan sebagian rahasia danau seluas 107,8 kilometer persegi itu.
Tanpa bermaksud mengungkap rahasia lain Singkarak, pagi itu kami turun dari
mobil dan berperahu menyusuri Danau Singkarak yang tenang. Dari tengah danau,
pucuk Gunung Marapi dan Singgalang terlihat bersembunyi di antara batas awan
dan bukit hijau. Ke bawah sedikit, tebing-tebing cadas yang menopang bukit
menghunjam ke dalam danau.
Di antara batas air danau dan daratan, pohon-pohon kelapa tumbuh berderet. Di
sanalah ibu-ibu pencari kerang biasa istirahat setelah berjam-jam berendam
mengais kerang dari dasar danau. Tidak jauh dari situ, puluhan laki-laki
menebar jala untuk menangkap ikan bilih (Mystacoleucus padangensis) dan sasau
(Hampala mocrolepidota). Keduanya adalah ikan endemik bercita rasa gurih lezat.
Setiap hari, puluhan bahkan ratusan kilogram ikan bilih diangkut para nelayan
danau.
Rumah gadang
Kini saatnya menjamah Nagari Sumpur lebih dalam lagi melalui jalan beraspal
yang kian sempit. Kami tiba di Jorong Nagari yang tumbuh di bukit dengan
ketinggian 500-an meter dari atas permukaan laut. Wajah asli Tanah Minang
seperti yang kita lihat di kartu pos, masih tampak di nagari itu di tengah
sisa-sisa keliaran hutan Sumatera. Ketika malam, gelap menyelimuti beberapa
bagian desa dengan sempurna. Tidak heran jika nagari itu kerap dipilih sejumlah
sutradara sebagai lokasi syuting film berlatar cerita Tanah Minang di masa
lalu.
Namun, kondisi kampung itu tak seluruhnya seindah gambar-gambar di film atau
sinetron. Tengoklah, rumah-rumah gadang berusia di atas 100 tahun di nagari
itu, sebagian sedang menuju kepunahannya. Gonjong-gonjongnya tak lagi gagah
memanjat langit. Dinding-dindingnya menghitam dimakan usia. Beberapa rumah
gadang bahkan sudah miring karena kayu penyangga utamanya terlepas.
Wali Jorong Nagari Hendri mengatakan, banyak rumah gadang di Sumpur yang sudah
ambruk. Dulu—tanpa menyebut tahun—ada 200-an rumah gadang di Jorong Nagari.
Kini, rumah gadang yang tersisa di seluruh Sumpur sekitar 45 buah, 25 buah di
antaranya ada di Jorong Nagari. Mei lalu, rumah gadang di Sumpur berkurang lagi
setelah lima
rumah gadang disambar petir hingga ludes terbakar.
Hendri membawa kami ke lokasi lima
rumah gadang yang terbakar itu. Kayu-kayu rumah gadang tersebut telah berubah
jadi arang. Rumah gadang itu, kata Hendri, milik Munir Datuk Batuah yang
ditunggui dengan setia oleh Nasri (69). Munir tinggal di Jawa. Hanya saat panen
padi atau ada upacara adat saja pemilik rumah datang ke kampung.
Hendri menambahkan, rumah- rumah gadang di Sumpur sebagian besar ditinggalkan
penghuninya. Itu sebabnya rumah tak terawat selama bertahun-tahun. Fenomena itu
juga terjadi di daerah lain di hampir semua nagari di Sumatera Barat. Padahal,
posisi rumah gadang sangat penting untuk memelihara kekerabatan orang Minang.
Mengapa rumah gadang dan nagari nan elok itu ditinggal penghuninya?
Seperti warga Minang lainnya, warga Sumpur banyak yang merantau. Beberapa di
antara mereka jarang sekali pulang kampung dan menengok rumah gadang kaumnya.
”Paling mereka menitipkan perawatan rumah gadang ke keluarga atau tetangga,
tapi orang yang merawat pun merantau pula,” kata Hendri.
Tidak ingin rumah-rumah gadang tua runtuh satu per satu, Ikatan Keluarga Sumpur
(Ikes) yang tinggal di rantau dan masyarakat Sumpur menggelar Forum Kampuang Minang
Nagari Sumpur pada pertengahan Juli lalu di Jorong Nagari, Sumpur. Mereka duduk
bersama para datuk, ninik mamak, Bupati Tanah Datar M Shadiq Pasadigoe, dan
sejumlah ahli seperti Yori Antar, arsitek yang berhasil merestorasi Desa Adat
Wae Rebo di Flores, NTT; Catrini Pratihari, Direktur Eksekutif Badan Pelestari
Pusaka Indonesia; Eko Alvares Z dari Pusat Studi Konservasi Arsitektur
Universitas Bung Hatta; Nurmatias, Kepala Badan Pelestarian Nilai Budaya; dan
Fitra Arda Sambas, Kepala Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala.
Dalam pertemuan itu, mereka sepakat untuk merestorasi rumah gadang. Restorasi
dilaksanakan langsung oleh masyarakat setempat. Dengan cara itu, mereka akan
membongkar lagi pengetahuan membangun rumah gadang seperti yang diturunkan para
tetuanya. ”Pendekatannya harus partisipatif, tidak boleh berdasarkan proyek,”
saran Yori yang mendapatkan penghargaan dari UNESCO karena membantu
menyelamatkan Desa Adat Wae Rebo.
Selepas Lebaran, masyarakat Sumpur, para datuk, ninik mamak, IKES, dan para
ahli masih menggodok rencana restorasi itu. Mereka berharap, jika restorasi
rumah gadang dan desa adat berhasil, Nagari Sumpur tak akan ditelantarkan
penghuninya lagi. ”Keindahannya terlalu sulit untuk dilupakan,” kata Dommy,
laki-laki Jakarta
yang menikah dengan gadis Sumpur.
(kps/budi suwarna & indira permanasari)